Menjual Bibit Gaharu ( Agarwood) Aquilaria Malaccensis asli kalimantan.
Siap melayani pemesanan untuk seluruh wilayah Indonesia. stok kami
saat ini ada 500000 bibit
Spesifikasi Harga Bibit Gaharu untuk pembelian langsung ke lokasi kami :
1. Tinggi 20 cm - 60 cm Rp. 2.400, -/ bibit ( polibag)
2. Tinggi 5 cm - 15 cm Rp. 1.000, -/ bibit ( non polibag)
3. Biji Gaharu Rp. 600.000, -/ kg( kunjungi website kami untuk update info harga terbaru)
http: / / www.bibitgaharu.info
Contact: 082153350119
Gaharu adalah gumpalan berbentuk padat, berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan berbau harum yang terdapat pada bagian kayu atau akar dari jenis tumbuhan penghasil gaharu yang telah mengalami proses perubahan kimia dan fisika akibat terinfeksi oleh sejenis jamur (Siran, 2011). Menurut Sitepu, et al. (2011) mengatakan bahwa gaharu (dalam Bahasa Inggris dikenal dengan namaagarwood atau eaglewood) adalah kayu resin yang bernilai komersial tinggi karena digunakan sebagai dupa, bahan aditif minyak wangi, dan minyak esensial untuk kegiatan keagamaan, budaya, bahkan kegiatan sehari-hari. Gaharu merupakan produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi dibandingkan produk HHBK lainnya, sehingga sangat potensial untuk dikembangkan. Harga pasar gaharu bervariasi tergantung mutunya, mulai dari 300 ribu rupiah hingga 25 juta rupiah (Sumarna, 2005). Bahkan saat ini harga gaharu dapat mencapai 150 juta rupiah untuk mutu super king.
Pada prinsipnya pemanfaatan gaharu adalah untuk pengobatan, incense, dan parfum (Barden, et al., 2000). Incense gaharu digunakan dalam ritual kepercayaan dan upacara-upacara religious keagamaan, sebagai pengharum ruangan, sembahyang serta benda-benda rohani seperti rosario dan tasbih (Barden, et al., 2000). Sementara itu dalam bidang pengobatan gaharu digunakan sebagai analgesic dan inti imflamantory dan diketahui bermanfaat untuk mengatasi berbagai penyakit seperti sakit gigi, ginjal, rematik, asma, diare, tumor, liver,diuretic, hepatitis, kanker, cacar, malaria, obat kuat pada masa kehamilan dan bersalin, juga memiliki sifat anti racun, anti mikroba, stimulant kerja saraf dan pencernaan (Heyne, 1987).
Keberadaan pohon penghasil gaharu di alam semakin menipis sebagai akibat perburuan yang agresif dan tidak bijaksana. Cara ini telah mengancam kelestarian pohon gaharu di habitat alaminya. Oleh karena itu, untuk mencegah punahnya pohon penghasil gaharu maka sejak tahun 1994 Aquilaria dan Gyrinops, dua genus pohon penghasil gaharu terpenting telah masuk ke dalam daftar CITES (the Convention on the International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna). Appendix II TRAFFIC-CITES-CoP13 Prop.49 (2004) telah mencatat terdapat 24 jenis yang termasuk dalam genus Aquilaria dan 7 jenis dalam Gyrinops. Kedua genus ini dapat ditemukan menyebar secara alami paling tidak di 12 negara, termasuk Bangladesh, Butan, Kamboja, Indonesia, Lao PRD, Malaysia, Myanmar, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Papua New Guinea (Barden, et al., 2000). Untuk mengantisipasi kemungkinan punahnya pohon penghasil gaharu sekaligus pemanfaatannya secara lestari, maka perlu dilakukan upaya konservasi dan budidaya serta rekayasa produksi untuk mempercepat produksi gaharu dengan teknologi induksi atau inokulasi (Situmorang, 2009).
Permintaan konsumen (buyer) terhadap gaharu terus semakin meningkat karena banyaknya manfaat gaharu tersebut. Namun, tingginya permintaan gaharu belum dapat dipenuhi terutama untuk tujuan ekspor yang dikarenakan oleh kurangna bahan baku. Hal ini banyak dikeluhkan oleh beberapa eksportir gaharu di Indonesia. Ekspor untuk pasar Timur Tengah sebagai contoh mengalami penurunan dari 67.245 kg pada tahun 2005 menjadi 39.400 kg pada tahun 2006 (Wiguna, 2006). Penurunan kemampuan ekspor gaharu Indonesia tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan harga gaharu, baik di pasar dunia maupun di tingkat pengumpul. Kenaikan harga gaharu terus meningkat dan makin tajam hingga mencapai Rp. 10 juta/kg pada tahun 2000 dan meningkat lagi hingga mencapai Rp. 30 juta/kg pada tahun 2005 (Wiguna, 2006). Bahkan pada saat ini menurut keterangan beberapa pelaku pasar, harga per kilogram gaharu telah mencapai Rp. 150 jt (Sasmuko, 2011).
Secara garis besar proses pembentukan gaharu dapat terjadi secara alami dan buatan, keduanya berkaitan dengan proses patologis akibat adanya luka pada batang, cabang, atau ranting pohon penghasil gaharu. Luka tersebut menyebabkan pohon terinfeksi oleh penyakit (bakteri, virus, cendawan) yang diduga dapat mengubah pentosan atau selulosa menjadi resin atau gaharu (Siran, 2011). Namun, pembentukan gaharu secara alami sulit dipantau dan dipastikan. Oleh karena itu, agar dapat mengamati secara langsung dan dipastikan terjadinya proses pembentukan gaharu dapat dilakukan rekayasa yaitu dengan cara inokulasi cendawan pada pohon penghasil gaharu. Kegiatan rekayasa pembentukan gaharu dengan cara inokulasi telah banyak dilakukan oleh banyak pihak dengan teknik yang bermacam-macam dan jenis inokulan yang bervariasi.
Pembentukan gaharu biasanya ditandai dengan perubahan warna kayu di sekitar daerah yang luka. Hal tersebut didukung oleh Sumadiwangsa (1999) dalam Rahayu, et. al. (2009) menyatakan bahwa terjadinya perubahan warna kayu putih menjadi cokelat sampai kehitaman merupakan gejala awal dari pembentukan senyawa gaharu. Namun perubahan warna kayu juga dapat terjadi sebagai hasil oksidasi pada daerah yang terluka. Secara umum keberhasilan inokulasi dapat dipengaruhi oleh empat faktor yaitu kondisi iklim setempat, kondisi pohon, jenis inokulan dan metode inokulasinya (Sasmuko, 2011).